Minggu, 11 November 2007

SISTEM SILVIKULTUR INTENSIF MENDORONG OPTIMALISASI PRODUKSI HUTAN ALAM

Untuk medorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, berdaya saing, dan yang dikelola secara efektif dan efisien, sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis, Dephut telah menunjuk beberapa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH).

Sebagai model pembangunan sistem silvikultur intensif yang disesuaikan dengan karakteristik setiap lokasi. Pengelolaan dengan sistem silvikultur intensif pada IUPHHK-HA/HPH baik dengan sistem tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPTII) dan atau dengan sistem tebang pilih tanam jalur intensif (TPTJI) dilakukan pada areal hutan produksi alam yang masih ada virgin forest, dan areal bekas tebangannya masih baik.

Agar pelaksanaan pembangunan sistem silvikultur intensif di beberapa IUPHHKA tersebut berhasil, difasilitasi oleh sebuah tim pakar di bidang sistem silvikultur. Tahun 2004 Departemen Kehutanan telah menunjuk 17 (tujuh belas) IUPHHKA untuk melaksanakan model pembangunan sistem silvikultur intensif. Di Kalimantan Tengah, IUPHHK-HA/HPH yang melaksanakan model sistem silvikultur intensif antara lain PT. Sari Bumi Kusuma, PT. Erna Djuliawati, dan PT. Sarpatim dari kelompok usaha kayu lapis Indonesia.

Pakar Tim Pelaksana Fasilitasi Pembangunan Sistem Silvikultur Intensif antara lain Prof. DR. Ir. Sukotjo (Silvikultur Intensif, UGM), Prof. DR. Ir. Maman Sutisna (TPTI Bina Pilih, UNMUL), Prof. DR. Ir. M. Na’iem, M.Agr (Pemuliaan Pohon, UGM), DR. Ir. Chairil Anwar Siregar (Manipulasi Lingkungan, Kimia Tanah Puslitbang HKA, Bogor), DR. Ir. Illias (Pemungutan Hasil Hutan/Penjarangan, Riil, IPB), dan lain-lainnya.

Menteri Kehutanan akan melihat perkembangan pelaksanaan model silvikultur intensif Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di PT. Sarpatim tanggal 27-28 Nopember 2006.
Selain melihat perkembangan sistem silvikultur TPTII di PT. Sarpatim , Menteri juga akan meminta laporan persiapan pakar dalam pengembangan sistem silvikultur intensif pada IUPHHKHA lainnya yang berminat.

Dalam kunjungan lapangan ke PT. Sarpatim Menteri Kehutanan antara lain didampingi oleh Dirjen Bina Produksi Kehutanan bersama tim pakar, Prof. DR. Ir. Sukotjo, Prof. DR. Ir. Maman Sutisna, Prof. DR. Ir. M. Na’iem, M.Agr, DR. Ir. Chairil Anwar Siregar, DR. Ir. Illias.
Sistem silvikultur intensif dengan tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) dapat meningkatkan hasil panen kayu dari IUPHHK-HA (HPH). Penerapan sistem tersebut dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan baku, yang saat ini menimpa industri pengolahan kayu berdiameter besar di Indonesia.Saat ini kesenjangan permintaan bahan baku untuk industri plywood dan sawn timber + 25 juta m3/tahun. Hal ini karena dari 289 unit IUPHHK-HA/HPH, hanya 154 unit yang aktif menyusun rencana karya tahunan (RKT) dengan potensi 8,2 juta m3 pada tahun 2006. Dengan sistem silvikultur TPTII dan atau TPTJI ini diharapkan agar pengelolaan IUPHHK-HA/HPH tersebut dapat menghasilkan kayu jenis meranti dan atau kayu mewah lainnya dalam umur tebang yang lebih pendek antara umur 20 –25 tahun dengan volume kayu yang lebih besar antara 200 – 300 m3/hektar. Selama ini umur kayu jenis meranti dari hutan alam baru dapat ditebang pada umur 30 – 40 tahun dengan volume 40 – 60 m3/hektar.

Jumat, 09 November 2007

Pengembangan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat di Desa Setarap, Setulang dan Sentaban Kabupaten Malinau (Zakaria, Kresno DS, P.Gunarso & Whiwhin W.)

Hutan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya memiliki fungsi dan peranan yang sangat beragam, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup baik papan, pangan maupun kebutuhan lainnya. Beragam peran dan fungsi hutan telah mendorong mayarakat untuk mengelola hutan secara lestari. Hal ini terbukti bahwa masyarakat Dayak di wilayah Kabupaten Malinau mampu mengelola hutan dengan baik secara turun menurun.

Sejalan dengan digulirkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, mengenai Pemerintahan Daerah atau lebih populer dengan Otonomi Daerah, telah merubah cara pandang sebagian masyarakat terhadap hutan. Seiring dengan semakin berkembangnya daerah-daerah yang pada masa sentralistik tidak tersentuh pembangunan, maka hutan berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan pada tataran potensi dan kondisi. Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat dan meningkatnya lalu lintas perekonomian lokal. Kondisi ini telah merubah pandangan sebagian masyarakat bahwa hutan merupakan satu sumberdaya alam yang mampu menopang peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat ke arah yang lebih konsumtif.

Sementara masyarakat yang lain berpandangan bahwa hutan merupakan salah satu sistem alam yang sangat penting yang menyediakan berbagai fungsi khususnya untuk menjaga kestabilan proses-proses alamiah sehingga harus dilindungi.

Perbedaan pandangan di antara masyarakat terhadap hutan tidak sedikit telah menimbulkan konflik kepentingan antar desa. Hal ini terkait dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian batas antar desa dan status kawasan hutan yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Kondisi ini cukup dominan di desa-desa luar Jawa, terutama di Kalimantan, karena wilayah administrasi desa biasanya termasuk di dalamnya kawasan htan yang diklaim sebagai hutan desa, walaupun secara hukum belum ada pengakuan namun demikian keberadaan hutan desa tersebut diakui keberadaannya dari segi adat yang sudah berlaku secara turun temurun.

Beranjak dari fenomena tersebut maka Pengembangan Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (PPHM) ini merupakan kegiatan yang memperkenalkan sebuah pembelajaran pada masyarakat di sekitar hutan, dalam membangun kemandiriannya dengan menyesuaikan pada kemampuannya sebagai penghuni di sekitar hutan. Kegiatan ini ditekankan kepada upaya untuk membangun kebersamaan dan kesadaran masyarakat untuk dapat melakukan pengelolaan secara terpadu dengan prinsip kebersamaan (co-management) dan satu pandangan yang sama bahwa kelestarian hutan dan pengelolaan hutan secara lestari adalah menjadi tanggungjawab secara kolektif dari masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Diharapkan pula dengan kegiatan ini dapat menjadi media kebersamaan sesama masyarakat di sekitar hutan untuk bersama-sama menjaga keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan peningkatan kelestarian hutan.

Kegiatan Pengembangan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat dilakasanakan pada tiga desa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau, yaitu Desa Setarap dan Setulang di Kecamatan Malinau Selatan dan Desa Sentaban di Kecamatan Malinau Barat Kabupaten Malinau. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara CIFOR dengan PEMKAB Malinau yang didanai dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Pemilihan lokasi di tiga desa tersebut, didasarkan kepada keberagaman persepsi dan kepentingan masyarakat yang ada di masing-masing desa terhadap hutan yang ada di wilayah ke tiga desa tersebut.

Secara umum tujuan dari kegiatan PPHM adalah mendukung aspirasi dan gagasan dalam mengkonservasi hutan pada masyarakat asli Kalimantan, dan juga memfasilitasi penyelesaian konflik serta memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang ramah lingkungan.

Tujuan khusus adalah memperkuat pengelolaan hutan untuk tujuan konservasi pada tiga lokasi hutan desa, yaitu Desa Setarap dan Setulang di Kecamatan Malinau Selatan dan Desa Sentaban di Kecamatan Malinau Barat, Kabupaten Malinau. Serta bekerja dengan ketiga lokasi tersebut untuk bersama-sama membangun kesepahaman dalam memanfaatkan fungsi hutan.

Di dalam proses pelaksanaan PPHM, kegiatan dilakukan dengan metode PRA (Participatory Rural Appraissal) dan RRA (Rapid Rural Appraissal). Yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah masyarakat sekitar hutan yang berada di tiga lokasi yaitu Lokasi Sentaban yang terdiri dari 3 desa yaitu Desa Sentaban, Long Bila dan Long Kenipe. Lokasi Desa Setulang dan Lokasi Setarap yang terdiri dari Desa Setarap dan Punan Setarap.

Masing-masing lokasi didampingi oleh seorang fasilitator yang berasal dari setiap lokasi. Untuk membangun komunikasi antar desa maka dibentuk forum antar desa yang anggota-anggotanya dipilih secara demokratis. Selanjutnya dalam forum antar desa dipilih pengurus forum yang juga dilakukan secara demokratis.

Dalam kegiatan Pengembangan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat di ketiga desa ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Konflik di Sentaban meliputi konflik antar desa dalam satu lokasi, dan konflik dengan Setulang yang berada di luar lokasi. Konflik di dalam lokasi dikarenakan desa-desa yang berada di Sentaban tidak bersedia apabila dilakukan penggabungan desa. Sebab apabila ketiga desa tersebut bergabung, maka dua desa pendatang yaitu Long Bila dan Long Kenipe tidak lagi mendapat subsidi pembangunan desa dari APBD. Dan konflik antara Sentaban dengan Setulang dikarenakan masalah tata-batas desa dan perebutan kawasan hutan desa.

Konflik yang terjadi di Setarap dikarenakan tidak bersedianya Desa Punan Setarap untuk digabung dengan Setarap. Sebab seperti Long Bila juga, apabila terjadi penggabungan maka Desa Punan Setarap tidak lagi akan mendapat subsidi dari APBD.

Komunikasi yang dibangun sebagai cara utama dalam mengkondisikan negosiasi antar masyarakat telah terfasilitasi secara efektif melalui tahapan proses kegiatan dan pelatihan, namun substansi dari komunikasi belum mengarah pada negosiasi penyelesaian konflik.

Masyarakat Setulang telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik secara baik yaitu dengan membangun komunikasi antar desa, sehingga diharapkan dapat tercapai negosiasi yang baik.

Pembagian bantuan dana memerlukan penilaian dan evaluasi secara lebih cermat dan prioritas pemanfaatannya perlu dibahas dengan penduduk secara partisipatif. Ada kecenderungan masyarakat menghendaki pemanfaatan dana yang berupa pembangunan fisik yang cepat terlihat hasilnya, walaupun mungkin sebenarnya kurang prioritas.

Membangun kebersamaan untuk mengelola hutan ternyata selalu dihadapkan pada keinginan untuk memiliki, karena mengelola hutan secara bersama berarti keputusan pemanfaatannya juga memerlukan putusan bersama. Hal ini dianggap oleh mereka ‘menggadaikan’ otoritas pada pihak lain. Proses mencapai kata sepakat akan memakan waktu yang lama.

Peran pemerintah sebagai regulator untuk saat ini belum berjalan dengan optimal karena mereka tidak punya cukup keberanian, cukup waktu, dan cukup kemauan untuk secara sungguh-sungguh menyelesaikan berbagai permasalahan di tingkat desa. Di lain pihak ada kesadaran yang besar sebenarnya di dalam masyarakat untuk berupaya menyelesaikan masalahnya sendiri sebelum pejabat pemerintah datang membantu (kasus Sentaban dan Setulang yang tidak mau difasilitasi oleh Camat dan Bupati sebelum ke dua desa sepakat). Pemerintah dalam kasus ini hanya diharapkan untuk melegalisir apa yang diputuskan oleh kedua desa yang bersengketa. Masalah ini bisa terjadi jika kedua kepala desa memiliki kemampuan negosiasi dan diplomasi secara murni dan bukan ditunggangi oleh kepentingan di luar dan kekerasan.

Adapun Rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah :

1. Rekomendasi untuk masyarakat di ketiga desa :

Untuk hidup berdampingan dengan damai perlu diselesaikan masalah batas antar desa secara terbuka dan jujur.

Meneruskan negosiasi sampai tercapai kata sepakat yang merupakan win-win solution. Perlu diingat, pertentangan yang terus menerus harus dihitung sebagai suatu ongkos sosial yang tinggi dan merugikan kedua belah pihak.

Menemu kenali potensi desa masing-masing untuk ke depan menyongsong pola mata pencaharian yang mengandalkan pada pertanian, ecotourism, kerajinan, pengolahan gaharu, dan perikanan, serta kegiatan jasa lainnya.

2. Rekomendasi untuk pihak Pemerintah Kecamatan

Jika batas kecamatan membagi habis kabupaten, maka batas kecamatan dapat segera diselesaikan. Batas desa jelas tidak mungkin membagi habis kecamatan – untuk kawasan berhutan seperti di Malinau. Untuk itu perlu ditetapkan batas luas desa dan hutan cadangannya dan sisanya merupakan wilayah hutan negara yang bisa dikelola oleh perusahaan swasta atau masyarakat secara bersama-sama misalnya melalui koperasi.

Batas kecamatan hendaknya dapat segera diselesaikan dengan membagi habis kabupaten dengan sejauh mungkin menggunakan batas alam dan memperhatikan fungsi dan keuntungan Daerah Aliran Sungai.

3. Rekomendasi untuk pihak Pemerintahan Daerah Malinau

Untuk menghindari kesalahan dalam kegiatan pembangunan desa, sebaiknya proses pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif. Yaitu dengan melibatkan masyarakat untuk aktif dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pemantauannya. Sebab dengan melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, berarti merupakan pembelajaran baru bagi mereka, seperti untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab, merasa eksistensinya diperlukan dalam pembangunan desanya serta untuk meningkatkan kepekaan terhadap permasalahan yang ada. Selain itu istilah “salah sasaran” bisa terhindari apabila prosesnya dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat.

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pendampingan pada bidang pemberdayaan yang disesuaikan dengan keahlian dasar masyarakat dan sumberdaya alam yang tersedia.

Perlu adanya tim khusus bentukan pemerintahan setempat yang secara berkala memfasilitasi penanganan konflik, yaitu untuk membangun proses komunikasi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Apabila konsepnya adalah peningkatan kemampuan untuk bernegosiasi, maka langkah fasitasi ini sangat diperlukan.

Perlu melakukan pembatasan luas desa dan jarak jangkauan masyarakat dalam membuka rimba baru. Pemanfaatan alat yang meningkatkan produktifitas pembukaan rimba harus dibatasi (usulan dari Sentaban terhadap sifat ekspansif masyarakat Setulang).

Pembatasan yang menurut masyarakat Desa Sentaban selama ini mereka patuhi adalah jarak dua kilometer dari jalan dan sungai. Atau jarak dua kilometer dari rumah tinggal yang bersangkutan. Penggunaan jemputan mobil oleh perusahaan akan ‘mengacaukan’ pola jarak ini bagi masyarakat dalam merimba.

Cara lain untuk membatasi masyarakat merimba adalah menerapkan pajak bumi menggunakan hasil bumi seperti dilakukan dalam masa penjajahan. Misalnya pembayaran pajak dibayarkan dengan jumlah kelapa atau tandan pisang atau kilogram beras. Dengan kata lain perlu ada kriteria yang jelas mengenai sistem pengaturan pembukaan hutan rimba oleh masyarakat dan tidak menyimpang dari tata ruang desa atau tata ruang kabupaten.

Perlu segera mengurus masalah hutan adat dan menyelesaikannya melalui perda seperti diatur dalam UU. Apabila hak adat dan adat itu sendiri sudah tidak berlaku maka Bupati dan DPRD dapat segera mengatur menggunakan pembagian kepemilikan yang modern.

4. Rekomendasi untuk Program/Proyek

Perlu adanya kelanjutan program/proyek, sebab proses pembelajaran masih sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang baru memulai kegiatan perlindungan hutan desanya. Apabila tidak ada kelanjutan di bidang pendampingan dan pemantauan, maka dikhawatirkan kegiatan yang sudah dirintis ini menjadi lepas percuma.

Diperlukan study atau pengkajian lanjutan untuk mengetahui akuntabilitas masyarakat terhadap konsistensi kegiatan perlindungan hutan desanya.

5. Rekomendasi untuk CIFOR

Rasa kepercayaan masyarakat di lokasi sasaran terhadap CIFOR sudah terbangun. Karenanya untuk tetap menjaga kondisi ini dapat ditempuh dengan cara meningkatkan pelibatan ketiga lokasi sasaran dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh CIFOR. Disamping itu pertemuan dalam berbagai kegiatan akan membangun komunikasi diantara mereka yang berkonflik.